Tata Cara Mandi Janabat yang Sempurna
Sabtu, 26 Maret 2011
Aqidah dan Fiqih
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
yang telah menjadikan syariat-Nya mudah dan mengandung barakah.
Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada uswah hasanah, Rasulullah
Muhammad bin Abdillah, keluarga dan para sahabatnya hingga yaumil
qiyamah.
Mandi janabat -dalam bahasa harian
orang Indonesia sering disebut mandi besar- adalah mandi yang dilakukan
oleh orang yang junub untuk menghilangkan hadats besar. Pembahasan
mandi janabat biasa dinamakan al-ghuslu (mandi) yang merupakan bagian dari bab thaharah (bersuci).
Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan
dalam kitabnya al-Mulakhash al-Fiqhi (I/64) menyebutkan, mandi janabat
sudah biasa dikerjakan sejak zaman jahiliyah dan termasuk bagian dari
syariat Nabi Ibrahim 'alaihi al-shalatu wa as-salam yang masih ada di tengah-tengah mereka.
Mandi janabat bagi orang junub
Sesungguhnya mandi janabat diwajibkan bagi orang yang junub. Dan seseorang disebut junub kalau dia dalam dua kondisi. Pertama,
mengeluarkan mani baik dalam kondisi sadar atau tidak. Jika keluar
mani sewaktu sadar (bangun) maka disyaratkan orang tersebut merasakan
kenikmatan dengannya. Sebaliknya, jika keluarnya tanpa disertai rasa
nikmat maka tidak wajib mandi, seperti keluar mani karena sakit atau
yang lainnya.
Jika mani keluar saat tidur, yang
disebut ihtilam (mimpi basah) maka mutlak wajib mandi baik merasakan
nikmat atau tidak. Maka apabila seseorang bangun tidur dan mendapati
basah (bekas mani) di celananya maka dia wajib mandi, sebagaimana
hadits ‘Aisyah radhiyallaahu 'anha yang berkata, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam
pernah ditanya tentang seseorang yang menemukan basah-basah pada
pakaiannya, sedangkan dia tidak teringat tentang mimpinya. Beliau
bersabda, “Hendaklah dia mandi.” (HR. Abu Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu
Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak
mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka
ia tidak wajib mandi. Dia tidak disebut junub, karenanya hukum janabat
tidak berlaku pada dirinya. Diriwayatkan dari Aisyah radhiyallaahu 'anha, “ . . . dan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam
ditanya tentang seseorang yang teringat tentang mimpinya, tapi tidak
menemukan basah-basah. Beliau bersabda, “Ia tidak wajib mandi.” (HR. Abu
Dawud, al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad. Dihassankan oleh Al-Albani
dalam Shahih Abi Dawud)
Siapa bangun dan mendapati basah-basah di celananya (bekas mani) maka wajib mandi, walau tidak ingat mimpinya.Sebaliknya, jika ia bermimpi dan tidak mengeluarkan mani atau tidak mendapati basah-basah pada celananya maka ia tidak wajib mandi.
Kedua, bertemunya dua
alat kelamin laki-laki dan perempuan (jima’), walaupun tidak sampai
mengeluarkan mani. Dasarnya, hadits yang dikeluarkan Imam Muslim dan
lainnya, Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
“Apabila seorang suami duduk di
antara empat anggota badan istrinya, lalu kemaluannya bertemu dengan
kemaluan istrinya, maka wajib keduanya mandi.”
Kedua sebab di atas telah disebutkan oleh Al-Qur’an dengan istilah junub,
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا
“ . . . Dan jika kalian junub, mak amandilah. . .” (QS. Al-Maidah: 6)
Tatacara mandi janabat
Mandi janabat adalah bagian dari
ibadah, sebagaimana wudhu. Dan setiap ibadah bersifat tauqifiyah, tidak
diketahui kecuali melalui petunjuk wahyu. Dan setiap ibadah yang
bersifat tauqifiyah ini, keberadaan niat sangat urgen dan menjadi
syarat untuk sahnya ibadah tersebut.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya amal tergantung niatnya. Dan seseorang mendapatkan sesuai apa yang diniatkannya.” (Muttafaq’alaih)
Tatacara mandi janabat teringkas dalam dua hadits Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Yaitu:
Pertama, hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha, istri Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, menuturkan:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ بَدَأَ
فَغَسَلَ يَدَيْهِ ثُمَّ يَتَوَضَّأُ كَمَا يَتَوَضَّأُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ
يُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي الْمَاءِ فَيُخَلِّلُ بِهَا أُصُولَ شَعَرِهِ
ثُمَّ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ غُرَفٍ بِيَدَيْهِ ثُمَّ يُفِيضُ
الْمَاءَ عَلَى جِلْدِهِ كُلِّهِ
“Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya.
Lalu berwudhu sebagaimana sebagaimana wudhu untuk shalat. Kemudian
beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam air, lalu menyela-nyela
pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau menyiram kepalanya tiga
kali dengan air sepenuh dua telapak tangannya, lalu meratakannya ke
seluruh tubuh.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Kedua, hadits Maimunah radhiyallaahu 'anha, ia berkata,
أَدْنَيْتُ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غُسْلَهُ مِنْ الْجَنَابَةِ فَغَسَلَ
كَفَّيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فِي
الْإِنَاءِ ثُمَّ أَفْرَغَ بِهِ عَلَى فَرْجِهِ وَغَسَلَهُ بِشِمَالِهِ
ثُمَّ ضَرَبَ بِشِمَالِهِ الْأَرْضَ فَدَلَكَهَا دَلْكًا شَدِيدًا ثُمَّ
تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ أَفْرَغَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ
حَفَنَاتٍ مِلْءَ كَفِّهِ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ ثُمَّ تَنَحَّى
عَنْ مَقَامِهِ ذَلِكَ فَغَسَلَ رِجْلَيْهِ ثُمَّ أَتَيْتُهُ
بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ
“Saya pernah menyiapkan air untuk
mandi janabat Rasulullah Sallllahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau lalu
mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian memasukkan
kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk menciduk air), lalu
mencuci kemaluan beliau dengan tangan kiri. Setelah itu beliau
meletakkan tangan kirinya di tanah, lalu menggosok–gosoknya sampai
benar-benar bersih. Selanjutnya beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk
mengerjakan shalat. Kemudian beliau menyiram kepalanya dengan air
sepenuh kedua telapak tangannya tiga kali, lalu beliau menyiram seluruh
tubuhnya. Setelah itu beliau bergeser dari tempat semula, lalu
membasuh kedua kakinya. Selanjutnya saya memberikan handuk kepada
beliau, namun beliau menolaknya.” (HR. Muslim)
Dari dua hadits di atas dan diperkuat
dengan hadits-hadits lainnya, tatacara mandi janabat yang sesuai sunnah
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Mencuci kedua tangan tiga kali sebelum memasukkannya ke dalam bejana atau sebelum mandi. Dasarnya adalah hadits ‘Aisyah di atas, “Bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam apabila mandi janabat, beliau memulai mencuci kedua tangannya.” Dan dalam hadits Maimunah, “Beliau
lalu mencuci kedua telapak tangannya 2 kali atau 3 kali, kemudian
memasukkan kedua tangan kanannya ke dalam wadah air (untuk
menciduk air). . .”
Al-Hafidz Ibnul Hajar rahimahullaah
berkata dalam Fath al-Baari (I/429), “Ada kemungkinan beliau mencuci
kedua tangannya untuk membersihkan kotoran yang melekat pada kedua
tangannya. Kemungkinan lain, itu adalah mencuci kedua tangan yang
disyariatkan ketika bangun dari tidur.”
2. Mencuci kemaluan dan tempat yang terkena mani dengan tangan kiri. Dasarnya adalah hadits Maimunah di atas. Adapun memegang kemaluan hukumnya makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, “Jika
salah seorang dari kamu buang air kecil, maka janganlah ia
memegang kamaluannya dengan tangan kanannya dan janganlah
beristinja’ dengan tangan kanannya, dan jangan pula bernafas di
dalam bejana.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
3. Mencuci tangan lagi sesudah
mencuci kemaluan dan membersihkannya dengan sabun ataupun yang
selainnya, seperti tanah. Dalam hadits Maimunah, “Kemudian beliau
menggosokkan tangannya ke lantai, lalu mengusapkannya dengan tanah
lalu mencucinya. . .” dalam lafadz Muslim, “Kemudian memukulkan
tangan kirinya ke tanah, lalu menggosokkannya dengan kuat.”
Imam al-Nawawi dalam Syarah Muslim
(III/231) berkata, “Dalam hadits ini berisi anjuran untuk beristinja’
dengan air. Jika telah selesai, ia membersihkan tangannya dengan tanah
atau alat pembersih yang lain (seperti sabun), atau menggosokkan
tangannya ke tanah atau dinding untuk menghilangkan kotoran yang
melekat padanya.”
4. Berwudhu dengan sempurna seperti wudhu untuk shalat.
Hanya saja tentang mencuci kaki, terdapat perbedaan pendapat
berdasarkan dua riwayat di atas. Hadits ‘Aisyah menunjukkan beliau shallallaahu 'alaihi wasallam mencuci kaki sebelum memulai menyiram air ke kepala. Sedangkan hadits Maimunah, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam mengakhirkan mencuci kecua kaki hingga selesai mandi. Dalam redaksi al-Bukhari, “Setelah selesai mandi, baru beliau mencuci kedua kakinya.” Dan ini adalah pendapat jumhur ulama.
Sesungguhnya persoalan ini adalah
persoalan yang lapang, seseorang diberi pilihan dari dua pendapat
tersebut, dan masing-masing memiliki dasarnya dari hadits. Namun,
terdapat satu pendapat dari Imam Malik yang menengahi, yaitu: Jika
mandi ditempat yang tidak bersih, maka ia mengakhirkan mencuci kaki.
Dan jika mandi di tempat yang bersih, maka ia mendahulukan mencuci kaki
bersama wudlu. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh pengarang Shahih
Fiqih Sunnah (I/233).
5. Menyela-nyela pangkal rambut
secara merata lalu menyiramkan air ke atas kepala sebanyak tiga
kali hingga membasahi pangkal rambut. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallaahu 'anha
di atas, “Kemudian beliau memasukkan jari-jari tangannya ke dalam
air, lalu menyela-nyela pangkal rambut kepalanya. Setelah itu beliau
menyiram kepalanya tiga kali dengan air sepenuh dua telapak
tangannya. . .” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam menyiram kepala hendaklah dimulai
dari kepala bagian kanan, lalu yang kiri, dan terakhir kepala bagian
tengah. Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ
نَحْوَ الْحِلَابِ فَأَخَذَ بِكَفِّهِ بَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ
الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ ثُمَّ أَخَذَ بِكَفَّيْهِ فَقَالَ بِهِمَا
عَلَى رَأْسِهِ
“Adalah Nabi shallallaahu 'alaihi
wasallam apabila hendak mandi janabat, beliau minta diambilkan air
dalam wadah besar seperti hilab (wadah untuk menampung perahan susu
unta). Beliau lalu menciduk air sepenuh telapak tangannya dan menyiram
kepalanya mulai dari bagian kanan, lalu bagian kiri, lalu mengambil air
sepenuh dua telapak tangannya dan menuangkan di atas kepalanya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Masih dari Aisyah, ia mengatakan, “Jika
salah seorang dari kami mengalami junub, maka ia menuangkan air dengan
tangannya ke atas kepalanya tiga kali. Kemudian mengambil air dengan
tangannya untuk dituangkan ke bagian kanannya, kemudian dengan tangannya
yang lain untuk dituangkan ke bagian kirinya.” (HR. al-Bukhari)
Bagi wanita yang mengepang rambutnya,
ketika mandi junub dibolehkan untuk tidak melepas ikatan rambutnya. Hal
ini berdasarkan hadits Ummu Salamah berkata, “Aku pernah bertanya
kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam, sesungguhnya aku
seorang wanita yang suka menggelung/mengepang rambut. Haruskan aku
melepasnya saat mandi junub? Beliau menjawab, “Tidak, cukup bagimu
menyiram kepalamu 3 kali dan selanjutnya engkau ratakan air ke seluruh
tubuh. Dengan demikian engkau telah suci.” (HR. Muslim)
Adapun kalau mandi sehabis haid, lebih dianjurkan untuk melepas kepangannya. Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam pernah bersabda kepada ‘Aisyah saat mendapat haid ketika melaksanakan haji, “Tinggalkan (rangkaian tertentu ibadah) umrahmu, lepaskan ikatan rambutmu (saat mandi), dan sisirlah rambutmu.” (HR. al-Bukhari)
Syaikh Bin Bazz rahimahullaah menjelaskan
dalam Ta’liqnya atas Muntaqa al-Akhbar milik Ibnu Taimiyah, “Lebih
dianjurkan bagi wanita haid untuk melepas ikatan rambutnya saat mandi
sehabis haid, namun tidak dianjurkan baginya untuk melepasnya saat mandi
junub.”
6. Menuangkan air ke seluruh tubuh dan meratakannya, dimulai dari bagian kanan lalu bagian kiri.
Syarat utama sahnya ibadah mandi
janabat ini adalah ratanya air ke seluruh anggota tubuh/seluruh
tubuh terkena basuhan air. Dasarnya adalah hadits Aisyah di atas,
“Lalu meratakannya ke seluruh tubuh.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
suka mendahulukan yang kanan ketika memakai sandal, menyisir, bersuci,
dan dalam seluruh urusan beliau.” (HR. Al-Bukahri dan Muslim)
Hendaknya ketiak dan lipatan tubuh
seperti selangkangan dan tempat yang sulit terjangkau air tidak luput
dari perhatian. Hendaknya dibersihkan dan digosok, walaupun menggosok
seluruh anggota badan tidak wajib.
Disebutkan dalam kitab Shahih Fiqih
Sunnah (I/235), “Jumhur ulama berpendapat –yang berbeda dengan pendapat
Malik dan al-Muzani dari kalangan Syafi’iyah- bahwa menggosok tubuh
tidak wajib. Tapi dianjurkan dalam mandi. Seandainya seseorang
menuangkan air ke seluruh tubuhnya, maka ia telah menunaikan apa yang
telah diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepadanya. Begitu
juga seandainya ia menyelam ke dalam air, maka ia telah membasahi
seluruh tubuhnya. . . . Berdasarkan hal ini, jika seseorang berdiri di
bawah pancuran kemudian air membasahi seluruh tubuhnya, maka mandinya
telah sah jika disertai dengan niat.”
7. Berpindah dari tempat semula
lalu membasuh kaki, bagi orang yang tidak menyempurnakan
wudhu’nya dengan membasuh kaki sebelum memulai mandi. Kesimpulan ini diambil dari hadits Maimunah radhiyallahu 'anha tentang mandi Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
تَوَضَّأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ غَيْرَ رِجْلَيْهِ
وَغَسَلَ فَرْجَهُ وَمَا أَصَابَهُ مِنْ الْأَذَى ثُمَّ أَفَاضَ عَلَيْهِ
الْمَاءَ ثُمَّ نَحَّى رِجْلَيْهِ فَغَسَلَهُمَا هَذِهِ غُسْلُهُ مِنْ
الْجَنَابَةِ
“Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wasallam berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, selain membasuh
kakinya dan beliau mencuci kemaluannya serta tempat yang terkena mani.
Kemudian beliau menuangkan air ke seluruh tubuh, lalu menggeser kedua
kakinya dan mencuci keduanya. Inilah mandi janabat beliau.” (HR. Al- Bukhari)
Syaikh bin Bazz rahimahullaah berkata,
“Membasuh kedua kaki di akhir rangkaian mandi, membasuhnya saat
melakukan rangkaian wudhu sebelum mandi, atau tidak membasuhnya lagi
adalah sama saja (boleh-boleh saja).”
Dan dianjurkan untuk tidak berlebih
dalam menggunakan air. Karena sedikitnya air yang digunakan untuk
ibadah, baik dalam wudhu ataupun mandi, menjadi tanda fakihnya
seseorang terhadap agamanya. Jika kita lihat sedikitnya air yang
digunakan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk mandi sunguh
sangat tidak sebanding dengan ukuran air yang banyak digunakan kaum
muslimin saat ini. diriwayatkan oleh Anas, “Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam biasa mandi dengan air sebanyak 1 sha’ sampai 5 mud air, dan biasa berwudhu hanya dengan satu mud.[1]” (HR. al-Bukhari, Muslim, abu Dawud, Ahmad, al-Darimi dengan lafadz milik al-Bukhari)
Demikian uraian tatacara mandi janabat sesuai dengan sunnah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam
yang menjadi uswah hasanah dalam berbagai menjalani hidup, khususnya
dalam masalah ibadah. Semoga Allah memberikan manfaat kepada pembaca
sekalian melalui tulisan ini. Dan semoga Dia menjadikannya sebagai
catatan amal shalih bagi penulis. Semoga Allah melimpahkan shalawat dan
salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya. Amiin(voa-islam.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar